Monday 29 December 2014

Mengagumi Viaduc de Millau, Jembatan Tertinggi di Dunia





Suatu kali ketika menonton film 'Mr. Bean's Holiday' tahun 2007, dimana ada suatu adegan melewati Viaduc de Millau/ Jembatan Millau di Perancis, maka sejak itu, jembatan yang spektakuler inipun menjadi salah satu list saya. Dan akhirnya setelah beberapa tahun kemudian, impian itupun terealisasi.


Viaduc de Millau terletak di selatan Perancis, dekat Millau yang mengarungi lembah Sungai Tarn. Jembatan dengan panjang 2.460 meter, lebar 32 meter, dan tinggi 343 meter ini dirancang oleh teknisi Perancis Michel Virlogeux dan arsitek Inggris Norman Foster. Viaduc de Millau adalah jembatan jalan tol yang menghubungkan Paris menuju Montpellier, jembatan yang bersanggahkan kabel dengan tonggak puncak 341 meter, sedikit lebih tinggi dari menara Eiffel dan hanya 40 meter lebih rendah dari Gedung Empire State di New York., sehingga jembatan ini dinobatkan sebagai jembatan tertinggi didunia dan mendapat penghargaan IABSE Outstanding Structure Awars pada tahun 2006, dan karena saking tingginya, pada pagi hari selalu di selimuti kabut dan bila sedang melewati jembatan ini terasa berjalan diatas awan.





 
Ketika hampir sampai di jembatan ini, dari jauh saya sudah melihat kemegahan jembatan kebanggan Perancis ini. Ketika sampai di tempat pemberhentian khusus untuk menikmati pemandangan dari dekat, sayapun tidak menunggu lama untuk menjelajahinya. Tempat pemberhentian tersebut terdapat toko suvenir, museum tentang jembatan Millau, serta restoran dan tempat parkir yang luas. perjalanan kamipun dilanjutkan dengan jalan kaki untuk melihat lebih dekat jembatan Millau ini, jalanan yang harus kami lalui menanjak hingga sejajar di samping jembatan. Dan pemandangan yang kita lihatpun sungguh luar biasa, jembatan yang melewati lembah Tarn yang gersang dengan kontur alam yang indah, perbukitan dan lembah, serta sungai Tarn yang terlihat kecil di bawah sana.



Selain mengagumi Jembatan Millau, bila mempunyai waktu panjang, andapun bisa mengagumi jembatan ini dari sungai Tarn dengan kano ataupun menjelajahi kota Millau dan kota-kota sekitarnya, salah satunya Peyre yang masuk dalam list "Plus Beaux Village de France" ( kota-kota terindah di Perancis ).



 Pemandangan disekitar jembatan Millau


 Parkiran


Untuk sampai ke sini bila dengan mobil pribadi bisa melalui jalan tol A75 dan keluar di 'Aire du Viaduc', dan ikuti D911 dengan penunjuk 'Aire du Viaduc'


Bila dengan kereta api dari Paris, Dari stasiun gare de Lyon menuju ke Monpellier (110 euro), lalu dari Monpellier naik kereta ke Stasiun Millau (13 euro), lalu naik bus dengan tujuan Raujoles (3 euro).



Bisa juga dengan pesawat dari Paris CDG-Monpellier, lalu dilanjutkan dengan kereta, dan tentu saja lebih mahal harganya.


 Peta menuju ke Jembatan Millau



Sunday 28 December 2014

Apa Rasanya Menyusuri Chu Chi Tunnels di Vietnam?



Setelah 3 hari di Saigon/ Ho Chi Minh City (HCMC), Vietnam selatan, akhirnya rombongan kami yag terdiri dari 3 orang dari Malaysia, 6 orang dari Indonesia dan 3 orang dari philipina melakukan perjalanan ke Chu Chi Tunnel yang sangat terkenal pada saat perang Vietnam berkecamuk. Kami naik bus yang kami sewa dari HCMC menuju ke kota Chu Chi yang terletak sekitar 70 kilometer utara HCMC. Setelah sekitar 2 jam perjalanan, buspun membelok masuk ke jalan pedesaan, dan berhenti di depan sebuah gedung yang rupanya tempat penerima tamu.





 
Pertama-tama kami memasuki ruang briefing dulu untuk melihat maket underground tunnel dan pemutaran film tentang perjuangan rakyat Vietnam semasa perang. Rakyat Vietnam di distrik Chu Chi itu beraliran komunis (Vietkong), yang gigih dalam melawan penjajahan Perancis di tahun 1940-an dan tahun 1960-an dalam melawan tentara Amerika dimasa perang Vietnam yang dahsyat dan terkenal itu. Jaringan terowongan itu dibuat begitu rumitnya, dengan 3 level yaitu di kedalaman 3 meter, 6 meter dan 10 meter dengan panjang 250 km.

Setelah dari ruang briefing, kami diajak oleh guide kami menuju ke terowongan, sambil melewati area hutan bambu dan kebun, dan kami juga melewati tank bekas tentara Amerika yang sudah tidak digunakan lagi serta beberapa jebakan yang digunakan oleh tentara Vietkong. Adapun terowongan yang spektakuler ini digali dengan cara yang sangat sederhana, hanya dengan tangan dan peralatan seadanya. Didalam terowongan bawah tanah itu juga terdapat ruangan-ruangan dengan berbagai fungsi, seperti: dapur yang asapnya disamarkan dengan cerdiknya, dimana asap itu disalurkan dengan pipa ke tumpukkan sampah yang sedang dibakar dipermukaan tanah, bengkel untuk membuat ranjau, bom serta senapan yang diambil dari bekas bom atau senajata Amerika sendiri, serta rumah sakit untuk mengobati pasien luka perang. Tentara Vietkong menggunakan rute bawah tanah ini begitu baiknya, sehingga serangan kejutan kepada pihak musuh dan kemudian menghilang dalam sekejap sebagai upaya menghindari serangan balik, membuat tentara Amerika sangat kewalahan menghadapi tentara Vietkong yang bersembunyi di dalam terowongan ini. Dikarenakan susahnya mencari lubang-lubang masuk ke terowongan, dan juga ukurannya yang sangat kecil dan sempit, hanya selebar pundak orang Vietkong itu sendiri, maka tentu akan susah bagi orang Amerika yang besar-besar badannya mencoba masuk ke terowongan ini. Untuk membalas taktik gerilya ini, Amerikapun melatih prajurit dengan postur tubuh kecil untuk mengenal 'terowongan tikus' ini, untuk mencari tahu seperti apa dalam terowongan itu.



 Tank bekas tentara Amerika (maaf foto kualitas jelek)



 Salah satu jebakan Vietkong


Sesampai di kawasan Ben Dinh Tunnel, salah satu bagian dari Chu Chi Tunnel mulailah kami memasuki terowongan dengan lubang dan tangga turun yang sempit dan pas di badan. Baru menurunin terowongan pertama, enam teman memutuskan tidak jadi ikut, karena terowongan terlalu sempit untuk ukuran badannya dan juga takut sesak nafas.
Setelah kami menuruni tangga dan mulailah kami berjalan sambil membungkuk dan kadang merangkak dikarenakan tinggi terowonagannya hanya 1-1,5 meter, dalam terowongan cukup gelap dan udaranyapun pengap. Sebenarnya pada jarak tertentu ada lampu listrik cuma karena terowongan itu tidak lurus maka pada saat berbelok kita tidak bisa melihat apa-apa karena gelap sekali.

Perjalanan rasanya tiada akhir, lalu akhirnya kamipun melihat sinar di depan kami, itu adalah salah satu tangga meuju ke atas permukaan tanah, rasanya merdeka dan lega, dan ketika guide kami menawarkan untuk melanjutkan perjalanan dalam terowongan lagi, kamipun langsung menolak, karena lutut rasanya sudah mau copot dengan punggung yang cekot-cekot. Saya membayangkan bagaimana tentara Vietkong itu sungguh lincah dan gesit menelusuri lorong yang sempit itu, sungguh luar biasa.

Lalu kamipun diajak ke tempat makan di udara terbuka dengan menu singkong rebus dan teh hangat, nikmat dan segar rasanya. Sambil makan kami di ceritakan perjuangan Ho Chi Minh, Bapak pejuang Vietnam yang seangkatan dengan Bung Karno dan bagaimana ia menciptakan sandal dari ban bekas….dan memberi semangat perjuangan untuk kemerdekaan Vietnam.



 Lubang yg hanya pas sebadan ukuran Asia



 Diorama pembuatan senjata


Oh iya selain sewa bus, alternatif lain ke Chu Chi Tunnels adalah dengan taxi atau bus umum, dan juga mobil sewaan dengan harga US$ 35-50. Bila dengan bus umum, anda dapat menggunakan bus no. 14 dari stasiun Ben Thanh dengan tujuan Chu Chi dengan harga 7.000 Dong setara Rp. 3.500 dengan waktu 1,5 jam. Bila samapi di stasiun Chu Chi, perjalanan dilanjutkan dengan naik ojeg dengan tarif sekitar 100.000 Dong (pp) atau bisa dengan bus umum no.79 dengan mengatakan tujuan Chu Chi Tunnels, bus itu akan sampai di persimpangan jalan dengan tanda Ben Duoc di sebelah kiri dan Ben Dinh di sebelah kanan, atau anda bisa meminta supir busnya antar hingga ke lokasi. Adapun tiket masuk ke Chu Chi Tunnels seharga 80.000 Dong sudah termasuk guide dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.

Semua harga diatas dapat berubah sewaktu-waktu. 



Wednesday 24 December 2014

Timor Leste, Destinasi Baru Bagi Petualang







'Bondia, Diak kalae...', itulah salah satu kata yang sering saya dengar ketika berada di tanah Timor Leste/ Timor Lorosae, yang berarti 'selamat pagi, apa kabar' dalam bahasa Tetum, bahasa resmi Timor Leste, selain bahasa Indonesia dan bahasa Portugis yang masih di pakai.

Terakhir saya menginjakkan kaki di sini tahun 2005. Banyak pengalaman dan kenangan akan negara nan esotik ini, dengan senyuman penduduk setempat dan bahasa campuran antara dialek setempat dan bahasa Portugis yag berkembang menjadi bahasa Tetum.

Untuk mencapai kota Dili, ibu kota Timor leste, dapat melalui jalan darat dan udara, dan visa yang berlaku adalah Visa On Arrival dengan biaya 35 dolar, dan mata uang yang di pakai adalah dolar AS. Jika ingin ke Timor Leste lewat jalan darat, dapat naik travel dari Kupang di pagi hari dengan transit di Atambua untuk makan siang, lalu lanjut hingga diperbatasan dan dapatkan VOA, lalu perjalanan lanjut hingga ke tujuan pada sore hari. Jika ingin naik pesawat dari Denpasar bisa menggunakan Merpati atau Sriwijaya Air dengan harga tiket mulai dari Rp.1,5 – 2,4 juta sekali jalan. Dulu tahun 2005 terdapat penerbangan dari Kupang-Dili, Kakoak Air, yang menggunakan pesawat Cassa 212 berkapasitas 18 tempat duduk, penerbangan hanya 2 kali seminggu, pada jumat dan minggu, tetapi tidak berapa lama penerbangan ini beroperasi, akhirnya gulung tikar.



Anak-anak lokal


Kota Dili yang terletak di tepi pantai adalah sebuah kota yang kecil dan jangan membayangkan pemandangan dan kehidupan seperti di ibu kota Jakarta ataupun negara lain, mungkin akan membosankan bagi yang suka ke mal atau shopping. Malam hari di Dili artinya kesunyian, toko-toko, warung-warung jam 19:00 sudah tutup, meskipun ada beberapa tempat buka hingga tengah malam tetapi tidak seperti kehidupan malam di kota besar. Namun menurut informasi yang saya dapatkan, sudah ada sebuah mal di kota Dili, namanya Plaza Dili, dan di plaza ini juga terdapat sebuah biskop yang memutar film-film terbaru, dan juga terdapat sebuah mercu suar di pelabuhan Dili. Bila sore tiba, maka akan banyak pedagang yang menjajakan makanan di depan pantai dengan menggelar kursi-kursi plastik di atas pasir pantai.



 Gedung kantor perdana Menteri (foto teman)




 Pantai disekitar Cristo Rei

 
Selain itu kita dapat mengunjungi landmark kota ini, yaitu patung Kristus Raja, Cristo Rei, yang terletak dipuncak sebuah tanjung yang menjorok ke laut, Fatucama, 30 menit dari Dili. Pemandangan dari puncak dimana terletak patung Crito Rei ini, kita dapat melihat pemandangan laut yang indah disebelah kiri dan kanan, serta kota Dili di kejauhan. Dan bila ingin melihat keseluruhan tanjung ini yang berbentuk kepala buaya yang mengambang diatas air, maka dapat dilihat dari jalan yang menuju ke Maubesse.

Patung Cristo Lei dibangun pada masa pemerintahan Soeharto, tepatnya 1996. Patung ini mendapat penghargaan dari museum rekor Indonesia (MURI) sebagai patung tertinggi di Indonesia. Tinggi patung ini mencapai 27 meter, yang melambangkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27. Patung ini merupakan patung tertinggi ke-2 di dunia setelah patung Christ Redemeer yang tingginya mencapai 38 meter di atas puncak Corcovado, di Taman Nasional Hutan Tijuca, kota Rio De Janeiro, Brazil.
Dan bagi pecinta diving, mungkin bisa mencoba ke peraian dekat Tibar, dimana dapat menemui penyu, barakuda, hiu kecil dan tuna, dan spot penyelam lainnya di Pulau Atauro, yang berjarak 20-25 km di utara Dili. Kadang di pulau ini dapat menemukan lumba-lumba yang berlompatan dan berkejaran dengan perahu, pada bulan Oktober dapat ditemui ikan paus yang melewati daerah ini. Kora-koral di sinipun tidak kalah indahnya.



 Jalan menuju ke Cristo Rei



 Kartu pos dengan gambar Cristo rei



Pemandangan bukit Fatucama yg spt kepala buaya


Salah satu kesukaan saya selama di Dili adalah ke pasar tradisional Tais Market di Colmera, dengan bangunan semi permanen yang menjual berbagai barang kerajinan tangan khas Timor Leste, seperti kain tais, tas, gelang, dan berbagai cinderamata lainnya. Dan di sini juga kita dapat melihat langsung para pedangang yang menenun kain tais.

Oh iya ada satu pengalaman saya ketika di Dili soal naik taxi. Taxi di Dili tidak memakai argo, harga tergantung kesepakatan antara penumpang dan supir. Dan suatu kali, saat saya berada didalam taxi menuju ke pantai Dili, tiba-tiba supir taxi menghentikan taxinya dan menerima penumpang lain yang menuju arah yang sama, dan tidak hanya sekali bisa berkali-kali selama taxi masih ada tempat duduk. Jadi jangan kaget bila taxi mengangkut dua atau tiga penumpang berbeda sekaligus. Selain taxi, terdapat juga transportasi lain dalam kota yaitu angkot yang sama seperti di Indonesia. 


 Rombongan acara adat atau keagaaman dgn baju tradisional


Biaya kehidupan di Timor Leste relatif mahal, dikarenakan memakai mata uang dolar AS, dan bahan pokok kebanyakan dari Indonesia atau negara lain. Tetapi jangan kuatir soal makanan, di sini makanan Indonesia tetap melekat dan menjadi salah satu makanan yang digemari. Banyak restoran atau warung-warung yang dimiliki oleh orang Indonesia. Selain itu juga terdapat banyak jenis makanan ala Portugis. Sedangkan makanan khas Timor Leste juga bisa kita dapatkan di beberapa warung yang dimiliki oleh orang asli Timor Leste. Satu pengalaman saya ketika makan roti khas Timor Leste adalah roti paun, yang seperti baguette tetapi berbentuk bulat dan keras. Pertama kali saya makan roti ini di suatu pagi, rasanya saya seperti makan roti yang sudah kering berhari-hari, dan cara makannya bisa di celup ke kopi atau susu. Satu makanan yang saya suka ketika berada di Dili adalah sayuran singkong yang dimasak dengan bunga pepaya, tidak ada rasa pahit, rasanya segar dan manis, tidak jauh berbeda dengan masakan Indonesia.


 Suatu sore di pantai Dili



Anak-anak lokal


Selain kota Dili, masih banyak daerah lain yang bisa di jelajahi di Timor Leste seperti, pulau Jaco, yang terletak di ujung paling timur dari pulau Timor, gunung Ramelau dengan ketinggian 2963 meter, Maubesse yang terletak diatas bukit, yang dimana kita dapat melihat pemandangan lembah nan cantik dari Hotel Pousada, dan masih banyak tempat-tempat lain yang bisa di kunjungi selain kota Dili.


 Narsis di Hotel Pousada

 
 Rumah penduduk diatas bukit di Maubesse


Rumah penduduk di Baucau



Happy Traveling...

Monday 22 December 2014

Istana Dari Negeri Dongeng Memang Ada




Foto dr internet


Ketika dalam perjalanan menuju ke Munich, kami menyempatkan diri mengunjungi Schloss Neuschwanstein/ kastil Neuschwanstein, yang terletak di pegunungan antara Hohenschwangau dan Füssen di Bayern barat daya, Jerman, dari jauh saya sudah melihat keindahan kastil ini yang seperti logo Disney atau kastil dalam cerita dongeng Cinderella atau Sleeping Beauty. Ketika sampai di parkiran mobil yang terletak di desa Hohenschwangau, perjalanan dapat dilanjutkan dengan jalan kaki, naik kereta kuda atau bus untuk sampai ke kastil ini, karena kastil ini terletak di puncak pegunungan, dengan jalan yang menanjak. Tetapi sayang, karena kami datang terlambat, pintu jalan yang menuju ke puncak dimana terletak kastil ini sudah di tutup, jadi kamipun tidak melihat lebih dekat dan masuk ke dalam kastil berwarna putih yang spektakuler ini. Dan juga sedang ada perbaikkan di beberapa bagian kastil ini, sehingga ada sebagian dari bangunan ditutup plastik. 



 Pemandangan ketika di jalan yg menanjak

 

Sedikit cerita kastil Neuschwanstein; Kastil ini adalah salah salah satu karya fantastik dari raja Konig Ludwig II von Bayern, selain Herrenchiemsee Palace yang merupakan replika dari Istana Versailles (Perancis), Linderhof Castle yang bergaya neo-France Rococo. Raja Ludwig dikenal sebagai King Swan atau Märchenkönig yang berarti raja dongeng, dimana ia tidak tertarik pada ilmu politik dan pemerintahan tetapi lebih ke seni teater, puisi, sastra dan hal-hal yang bersifat seni. Pada umur 18 tahun ia menjadi raja Bavaria dan tetap lebih cinta pada seni daripada pemerintahan, dan iapun merealisasikan impiannya membangun bangunan-bangunan dalam fantasinya, dan salah satunya kastil Neuschwanstein ini, yang menghabiskan biaya yang besar kurun waktu 17 tahun, dan sebelum selesai pembangunan kastil ini, ia ditemukan tewas di Danau Starnberg secara misterius sehari setelah dipaksa turun tahta karena dianggap gila. Raja Ludwig hanya tinggal 170 hari di kastil Neuschwanstein sebelum meninggal pada umur 40 tahun.



 Pemandangan dr jalan raya



Danau Alpsee



Tidak jauh dari kastil Neuschwanstein terdapat kastil Schwanstein, yang dibangun oleh raja Maximilian II, ayah dari raja Ludwig II, diatas bekas reruntuhan yang ia beli pada tahun 1832. Istana neo-gotik yang nyaman ini menjadi kediaman keluarga raja pada musim panas, dan anaknya yang sulung, Ludwig, menghabiskan masa kanak-kanaknya di sini. Dan di istana inilah Ludwig mengawasi pekerjaan kastil Neuschwanstein impiannya.



kastil Schwanstein



 Denah jalan ke kastil dan sekitar


Setelah itu kamipun melanjutkan perjalanan menuju ke Munich yang melewati pedesaan dengan pemandangan ladang dan pegunungan yang tertutup salju, dengan rumah-rumah khas Bavaria yang indah, sungguh suatu suguhan yang menawan dalam perjalanan kami.



 Pemandangan ketika menuju ke arah kastil Neuschwanstein



 Pemandangan ketika menuju ke arah Munich


Untuk sampai ke kastil Neuschwanstein selain kendaraan pribadi adalah dengan naik kereta api dari Munich dengan tujuan Füssen, lama perjalanan 2-3 jam, setelah tiba di Füssen , carilah bis no. 73 dengan tujuan Steingaden/ garnisch-Partenkirchen atau bis no.78 dengan tujuan Schwangau. Turunlah di halte Hohenschwangau/ Alpseestraße. Harga tiket bis standart rata-rata 1.5-3 Euro.




Saturday 20 December 2014

Terkenang Setahun Tsunami Aceh




Pemandangan dari pesawat


Ketika banyak berita di Eropa untuk memperingati 10 tahun tsunami yang terjadi di samudera Hindia, dengan dampak paling parah adalah Nagroe Aceh Darusalam, sayapun teringat ketika mengunjungi provinsi ini pada tahun 2005, setahun setelah tsunami.
Tadinya kunjungan saya untuk menjelajahi Sabang, tetapi ketika kami keluar dari Bandar Udara International Sultan Iskandar Muda, sepanjang jalan ke Banda Aceh yang terlihat hanya tanah lapang dengan beberapa rumah, yang masih berdiri setelah disapu oleh air akibat gempa bumi 9,3 skala richter, yang terjadi 160 km sebelah barat Aceh. Maka kamipun memutuskan menjelajahi Banda aceh dan sekitarnya saja.

Setelah meletakkan ransel di hotel, kamipun menuju ke landmark kota ini, mesjid Raya Baiturrahman, yang berdiri megah setelah diterjang tsunami. Mesjid yang terletak di jantung kota ini dibangun pada tahun 1612 oleh Sultan Iskandar Muda sebagai mesjid kesultanan Aceh. Dan di mesjid inilah ratusan orang mengungsi dari bencana tsunami.


 Mesjid Raya Baiturrahman

   

Setelah itu kamipun lanjut ke desa Punge, Blancut, dimana terdapat sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung yang terdampar di tengah-tengah pemukiman penduduk. Kapal dengan panjang 63 meter dan berat 2.600 ton ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue yang ditambatkan di perairan Aceh. Ketika terjadi tsunami kapal ini terseret gelombang pasang setinggi 9 meter hingga sejauh 5 km. Tidak ada yang membayangkan kapal ini terhempas hingga ke jantung kota Banda Aceh. Ukuran kapal yang besar dibandingkan dengan rumah penduduk sekitarnya menjadi pengingat akan dahsyatnya gelombang tsunami.

 

 PLTD Apung



Perjalanan lanjut menuju ke pantai Ulee Lheue, disepanjang jalan kami hanya melihat tanah lapang yang masih tergenang air di beberapa bagian serta kolam-kolam air yang dulunya merupakan bangunan rumah pênduduk yang sudah hilang di sapu air, yang tertinggal hanya puing-puing bekas bangunan saja. Serta terdapat beberapa kapal nelayan yang terdapar hingga di daratan. Lalu kami juga melihat beberapa rumah darurat yang dibangun pemerintah atau organisasi bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi dan penduduk yang telah kehilangan rumahnya. Ketika kami sampai di pantai ini, terdapat banyak bekas puing bangunan yang berserakan di sepanjang pantai, tetapi pesona pantai ini tetap terlihat indah dengan pemandangan pulau-pulau kecil dikejauhan serta perbukitan yang menjadi latar. 


 Tanah bekas bangunan yg sudah tinggal puing



 Pantai Ulee Lheue


 Perahu nelayan di daratan bekas pemukiman


Lalu kami lanjut ke pantai Lampu'uk, sebuah pantai di wilayah Lhok Nga, Aceh Besar, sekitar 30 menit dari kota. Sepanjang jalan kami melihat perbukitan yang berjejer dengan persawahan yang mulai menguning, pemandangan yang indah sekali, kontras dengan langit yang mulai mendung. Tidak bosan-bosannya saya mengagumi pemandangan yang tersaji ini, tidak ada rasa bahwa daerah ini pernah di landa tsunami. Ketika kami sampai di pantai yang mempunyai garis pantai yang panjang ini, sudah begitu banyak turis lokal yang bermain-main di tepian pantai. Pantai ini ada bagian yang landai, yang berbatu-batu serta laguna, dan dibelakang terdapat perbukitan. Dan menurut penjelasan penduduk sekitar, ketika tsunami, air pasang hingga ke perbukitan dan memporak-porandakan rumah-rumah penduduk serta semua bangunan di pantai. Walau tidak ada bangunan satupun di sepanjang pantai, dan banyak bagian yang rusak karena gelombang tsunami, pantai Lhok Nga tetap indah dengan ombaknya yang cukup besar.
Setelah itu kamipun kembali ke hotel, untuk persiapan perjalanan esoknya.



Pemandangan sawah dgn perbukitan



Pantai Lhok Nga





Keesokkannya, sebelum kembali ke Jakarta, kamipun berkunjung ke Taman Sari Gunongan dan Kandang yang terletak dalam kota, tidak jauh dari mesjid Raya Bauturrahman. Adapun warisan dari Sultan Iskandar Muda ini dibangun pada tahun 1630-1653, yang dipersembahkan untuk permaisuri tercinta, Putri Kamaliah (Putroe Phang), putri Sultan Pahang. Gunongan adalah sebuah bangunan persegi enam berbentuk seperti kelopak bunga yang sedang mekar. Gunongan yang berarti gunung, dibangun semirip mungkin dengan kampung halaman sang permaisuri di Pahang, Johor, yang dikelilingi pegunungan. Bangunan tiga tingkat yang serba putih ini memiliki tinggi 9,5 meter dan terdapat 7 anak tangga yang hanya muat satu orang, dan dari puncak bangunan, kita dapat melihat sungai Daroy, taman Kandangan serta Kerkhoff Peutjut(kuburan kolonial Belanda. Dimana Terdapat makam Jenderal Köhler, jenderal Belanda yang tewas saat agresi militer tahun 1873).
Sedangkan Kandangan adalah sebuah bangunan berbentuk persegi, digunakan sebagai tempat Putri Pahang beristirahat, seusai berenang di sungai Daroy.


Taman Sari Gunongan dan Kandang



Kandang

 
Akhirnya tiba waktunya kami harus ke bandara dan kembali ke Jakarta.
Suatu perjalanan yang cukup memberi saya pelajaran akan gejolak alam yang begitu hebat.



Thursday 18 December 2014

Terpikat Mont Saint Michel Yang Menawan




Mont Saint Michel menjelang malam


Setelah dari Saint Malo, maka sampailah kami di Mont Saint Michel, objek wisata yang menduduki urutan kedua setelah Paris. Dan ini ketiga kalinya kami ke tempat ini, dan saya selalu mengagumi bagaimana sebuah pulau batu berubah menjadi sebuah desa dengan sebuah biara di puncaknya. Sebuah pulau batu dengan pemandangan yang indah di siang hari dan menawan dimalam hari. Dan Mont Saint Michel merupakan inspirasi kerajaan Corona dalam film Tangled produksi Walt Disney. 

Mont Saint Michel terletak di bibir teluk di region Normandi, berbatasan dengan region Bretagne, dan tidak jauh dari Saint Malo, 4-5 jam perjalanan darat dari Paris. Dulunya Pulau ini terhubung daratan melalui sebuah jalan kecil, dan akan tertutup air ketika laut pasang, dan pulau ini akan terlihat seperti sebuah pulau yang mencuat dari lautan, maka disebut juga pulau pasang. Tetapi sekarang jalan itu telah di bangun sebuah jalan beraspal dengan sistem dam yang akan melepaskan air kembali ke lautan sehingga tidak merendam jalanan. Dan situs ini masuk dalam warisan dunia UNESCO.

Awalnya pulau karang dengan luas 208 hektar ini bernama Mont Tombe, ketika Uskup Aubert mendapat wahyu pada tahun 709, maka pembangunan sebuah biarapun dimulai  dan terus berkembang hingga abad pertengahan, dan biara ini semakin cantik ketika ditambahkan menara dipuncaknya. 
Dalam kancah politik, Mont Saint Michelpun tidak luput dari konflik perang seratus tahun antara Inggris dan perancis, pasukan Inggris berulang kali melakukan penyerangan ke pulau ini, namun tidak pernah berhasil merebutnya. Dan biara inipun mempunyai duplikatnya di tanah Inggris, di pulau kecil di barat Cornwall yang meniru gaya Mont Saint Michel dengan nama Gunung St. Michael.

Ketika kami hampir sampai, dari jauh saya melihat biara dengan menara tinggi yang bertengger di puncak pulau, sayapun teringat gambar-gambar di buku dongeng yang sering saya bacakan untuk anak saya. Dan jalan menuju ke pulau ini dikelilingi area pertanian dan padang rumbut penuh dengan domba dan sapi. Dan dibagian lain dikelilingi lautan lumpur yang sewaaktu-waktu akan tenggelam bila laut pasang. Akhirnya kamipun sampai di area parkiran mobil.



 Penampakkan dari jalan ketika hampir tiba

 
Sebelum masuk ke area Mont Saint Michel ini, kita harus melewati sebuah gerbang dengan pintu besi yang dapat dibuka tutup dengan cara ditarik keatas. Setelah di dalam, kamipun berjalan di jalan berbatu yang menanjak dengan deretan toko-toko cinderamata di kiri kanan jalan. Untuk mencapai ke puncak pulau karang dimana terdapat biara yang menjadi landmark pulau ini, kita dapat melalui jalan utama (grand rue) yang cukup lebar dan dengan tangga-tangga yang yang cukup curam, atau melalui jalan-jalan kecil dengan tangga batu yang sempit. 



 Gerbang utama



 Jalan utama


 Salah satu tangga naik
 
 
Ketika kami harus menaikki tangga batu Grand Degre sebelum sampai di biara yang berjumlah 350 tangga, hati sayapun ciut, tetapi dengan panorama lautan lumpur sepanjang mata memandang ketika air surut, rasa lelahpun hilang dan tanpa terasa kamipun sampai di depan pintu masuk biara yang lebih mirip kastil. 


 Pintu masuk biara



 Lorong dalam biara



Interior biara



Setelah puas menikmati dalam biara yang terbagi dua, tempat ibadah dan tempat tinggal pastoral, kamipun mengelilingi pulau ini melalui jalan-jalan sempit yang menurun. Setiap bagian dari pulau ini selalu memukau saya dengan pemandangannya yang indah, perpaduan rumah-rumah penduduk yang berdiri diatas batu karang dengan pemandangan lautan lumpur. Para turispun bisa berjalan-jalan diatas lautan lumpur itu, tetapi sebaiknya jangan terlalu jauh dari pulau karang Mont Saint Michel, dikarenakan sewaktu-waktu air laut naik dengan cepat, 1 m/ detik, bahkan penulis Victor Hugopun pernah berkata  "à la vitessed d'un cheval au galop" (secepat kuda berlari ). 
Bila ingin menjelajahi lautan lumpur ini sebaiknya menggunakan jasa guide yang mengetahui jadwal air pasang dan area mana saja yang bisa dikunjungi.



Pemandangan lautan lumpur dgn satu group turis yg terlihat kecil sekali


 Taman samping biara


Haripun mulai gelap ketika kami hampir mencapai jalan utama, dan pemandangan yang kami saksikanpun semakin spektakuler dengan sorotan lampu-lampu di setiap sudut bangunan. Dan ketika kami sampai di jalan utama dimana terdapat deretan restoran, cafe, dan toko suvenir khas Mont Saint Michel ataupun Bretagne, dari baju, keramik, dekorasi, hingga makanan seperti biskuit khas Bretagne yang dibungkus dengan kotak kaleng dengan gambar Mont Saint Michel, kamipun berhenti disebuah cafe dan memesan crepe isi coklat dan teh hangat serta susu coklat untuk anak saya sebelum kami meninggalkan tempat ini.



 pemandangan rumah-rumah penduduk di malam hari


 pemandangan jalan ketika malam

 
Saat kami berjalan ke area parkiran, rasa kagum saya tidak berhenti memandangi pulau ini dengan puncaknya yang disoroti lampu nan megah..... Penampilannya seperti dalam negeri dongeng, ahhhh... Mont Saint Michel memang selalu menawan.



 Pemandangan Mont Saint Michel di malam hari



 Pemandangan dari parkiran